Gaza Memanggil: Dokter Prita, Secercah Harapan di Tengah Puing dan Bom
Suarapublic.com Hai semoga harimu menyenangkan., Pada Edisi kali Ini, Suarapublic akan menyampaikan informasi menarik dari Nasional. Catatan Penting Tentang " Gaza Memanggil Dokter Prita Secercah Harapan di Tengah Puing dan Bom", Baca sampai selesai untuk pemahaman komprehensif.
Perjalanan panjang dan berliku dilalui dr. Prita Kusumaningsih, Sp.OG, untuk bisa menapakkan kaki di tanah Gaza.
Dokter Spesialis kebidanan dan kandungan ini menjadi salah satu anggota Emergency Medical Team (EMT) dari Bulan Sabit Merah Nasional (BSMI) yang berangkat ke Gaza dalam misi kemanusiaan.
Liputan6.com, Jakarta Perjalanan panjang dan berliku dilalui dr. Prita Kusumaningsih, Sp.OG, untuk bisa menapakkan kaki di tanah Gaza. Meski baginya perjalanan ke Gaza bukanlah yang pertama, tetapi tetap menantang.
Dokter Prita mengisahkan perjuangannya menembus wilayah konflik tersebut sejak meletusnya Badai Al-Aqsa pada 7 Oktober 2023 silam.
dr Prita kemudian menceritakan awal mula keterlibatan BSMI dalam misi kemanusian di Gaza baru-baru ini.
Saat itu, BSMI mencoba bekerja sama dengan WHO yang sempat memberikan lampu hijau dan meminta tim datang ke Jordan untuk pertemuan.
Namun, setelah ditemui, WHO menyampaikan bahwa BSMI tidak bisa diterima untuk berangkat ke Gaza.
Dalam upaya mencari solusi, mereka diperkenalkan dengan organisasi Rahma Worldwide.
Singkat cerita, upaya BSMI menyakinkan organisasi Rahma Worldwide untuk ikut dalam misi kemanusiaan ini akhirnya berhasil.
Pirta bercirta momen ketika dia dan tim di Amman, Yordania.
Saban berhenti di pos pemeriksaan, dia hanya bisa mengencangkan doa-doa, berharap perjalanan bisa dilanjutkan dengan lancar tanpa ada penahanan.
Mereka melalui perbatasan Yordan-Israel melintasi dua pos imigrasi.
Biasanya, pemeriksaan yang dilakukan untuk menuju ke Gaza sangatlah ketat.
“Diharapkan dengan adanya duta besar dan mobil kedubes itu akan memperlancar.
Mereka mendapatkan arahan dari Duta Besar Nasional sebelum melanjutkan perjalanan darat menuju Gaza.
Sepanjang perjalanan, mereka didampingi Duta Besar Palestina.
Setelah menempung perjalanan panjang dan menegangkan, tim BSMI bergabung dengan Rahma Worldwide dan membentuk EMT untuk Gaza.
Prita sendiri bergabung dalam tim kedua setelah sebelumnya tim pertama hanya terdiri dari dua orang dokter.
Perjalanan dari Kairo ke Al-Aris, memakan waktu lebih kurang enam jam.
Diakuinya, selama di perjalanan rasa was-was selalu saja datang.
“Karena bagi BSMI, organisasi kemanusiaan tempat saya bergabung, itu, Gaza itu sebetulnya sudah beberapa kali pernah kami kunjungi, terhitung dari tahun 2008, 2009, 2010, 2012.
Itu yang saya ikut, terus ada lagi yang saya enggak ikut, katanya mengawal perbincangan dengan Liputan6.com di Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA) Al-Fauzan, Jumat (10/10/25).
Meski sudah pernah mendatangi Gaza, keadaan setelah beberapa belasan tahun begitu berbeda.
Semakin kacau jika dibandingkan dengan keadaan saat dia berkunjung 2008 lalu.
Sambil menunjukkan kumpulan foto-foto relawan yang ada di majalah BSMI periode khusus 2025, dr. Prita semakin dibuat terperangah.
“Pada saat gencatan senjata kan kami masuk, itu kaget ya, nggak nyangka sama sekali bahwa kerusakannya sedemikian massif, sampai shock gitu ya,” terangnya.
Di hari-hari pertama, dia bolak balik dikagetkan dengan suara dentuman bom yang tak pernah berhenti.
Suasananya hatinya berkecamuk.
Di tengah kondisi yang menyedihkan tersebut, kehidupan warga Gaza yang tetap berjalan seperti biasanya.
Anak-anak main bola dan layangan, anak perempuan bermain dengan teman sebaya, ibu-ibu menggendong anak, bapak-bapak dengan kesibukannya.
Ada yang naik sepeda membawa barang, ada yang naik kereta keledai, ada yang memperbaiki mobil di bengkel hingga yang mendorong mobil.
Jadi mereka itu memang kan ketahanannya dikenal cukup tinggikan, ucapnya dengan kagum.
Sebagai dokter kandung, dia merasa sangat berkesan ikut menangani para ibu yang akan melahirkan.
Beberapa kali dia menangani kasus kelahiran yang belum pernah ditemuinya di Nasional sebelumnya.
Dia juga menemukan kondisi ibu hamil di Gaza yang banyak mengalami kekurangan darah.
Kalau di sini ada kadar hemoglobin kan 10 minimal ya ibu hamil.
Kalau kurang pasti ditransfusi dulu.
“Saya juga menemukan perbedaannya, yaitu kalau di sana itu dinding rahim, meskipun sudah di sesar sekian kali, itu masih tetap tebal.
Kenangan lain yang membekas di ingatannya saat diminta memberi nama bayi ke-10 dari seorang ibu yang berusia 43 tahun di Gaza.
“Nah itu yang saya diminta untuk memberikan nama.
Ketika saya diminta untuk memberikan nama, saya tanya dulu.
Apakah yang ke sembilan orang itu ada? Sudah jangan-jangan sudah ada yang Fatimah kan? Supaya nggak double ya” tuturnya sambil tersenyum.
Dia mengutip hasil sebuah penelitian yang menyebut jumlah kematian di Gaza seimbang dengan jumlah kelahiran.
Selain menangani proses persalinan baik normal maupun sesar.
Ia juga memberikan edukasi kepada mahasiswa kedokteran lokal yang tetap menjalani pendidikan meski dalam kondisi perang.
“Pendidikan kedokteran tetap berjalan dan mereka tetap masuk setiap hari.
Dan tetap mengikuti pendidikan, tetap mengerjakan tugas-tugasnya.
Kita melihat di sini, wajah-wajahnya kok penuh semangat.
Mereka dapat menjadi tempat bercerita dan menghilang stress untuk para warga Gaza.
“Padahal kami itu apa sih? Mereka itu berterima kasih.
Karena apa? Karena merasa masih ada yang mau membersamai.
Kondisi ini tentunya sangat mempengaruhi kesehatan, baik fisik maupun mental.
Ia mengatakan, tak ada yang istimewa dari upayanya menjaga kesehatan.
Minum suplemen kesehatan, menjalani berbagai vaksinasi yang dibutuhkan, menjaga makan, hingga menjaga aktivitas fisik, merupakan upaya-upaya yang dilakukan dr.
Dia juga memberikan cara untuk mengelola stres di tengah kondisi perang.
Ia menyebut hal tersebut sebagai proses pembiasaan.
“Bom itu memang mengejutkan dan itu enggak ada waktunya.
“Jadi ritual sebelum tidur, itu ditingkatkan.
Kalau biasanya cuma baca doa, baca Al-Fatihah, tiga surat, sekarang tambah zikir.
Salat sebelum tidur itu sudah diwajibkan.
Mewajibkan diri sendiri kan.
Dalam surat perjanjian, katanya, tim relawan sudah diingatkan bahwa mereka akan memasuki wilayah yang berpotensi menimbulkan trauma psikis, fisik, bahkan kehilangan nyawa.
“Awal-awal masih kebawa.
Suara bom, suara drone, masih terngiang-ngiang,” ujarnya.
Hingga kini, Ia belum bisa memposting foto makanan di media sosial.
Dari perjalanan panjangnya menuju Gaza, dr. Prita menyampaikan secercah harapan.
Gencatan senjata yang baru saja diresmikan akan membawa kehidupan lebih baik untuk masyarakat Gaza.
“Alhamdulillah kan sudah tercapai kata sepakat untuk gencatan senjata,” ucapnya dengan nada lega.
Menurutnya, penundaan demi penundaan yang dilakukan terhadap gencatan senjata di Gaza justru menjadi luka baru bagi mereka yang menanti kemerdekaan.
Tetapi sejak 2009 hingga sekarang, keinginan masyarakat Gaza selalu sama yaitu meminta peristiwa yang terjadi dapat disiarkan kepada seluruh dunia.
“Mereka yang selalu diomongin dari tahun 2009 sampai sekarang itu
✦ Tanya AI
Saat ini AI kami sedang memiliki traffic tinggi silahkan coba beberapa saat lagi.